Agenda Terkini:

LPTT Bandung mengajak anda mahasiswa (S1 & S2) untuk terlibat menjadi RELAWAN Lingkungan bersama LPTT Bandung. Informasi/Pendaftaran: 08170213972 / @LPTT_Bandung

Senin, 14 April 2014

OSATA, Bagian Dari Pengelolaan Sampah Kota Secara Terpadu

[ Atap kubah dari model reaktor Pengolah
Sampah Kota (OSATA) LPTT Bandung]
Populasi penduduk yang jauh lebih tinggi serta konsumsi yang jauh lebih besar menjadikan perkotaan ibarat sosok penghisap yang lebih rakus dibanding pedesaan. Pada kenyataannya kondisi ini akan berbanding lurus dengan besarnya jumlah limbah (sampah, hingga polutan) rata-rata yang dibuang oleh kota dibanding pedesaan. Gambaran ini menjadi fakta umum hampir di semua kota besar dan padat di dunia, termasuk kota Bandung.

Kepadatan dan jumlah penduduk kota Bandung yang jauh lebih tinggi dibanding desa-desa ataupun kabupaten lain di Jawa Barat membuat konsumsi pangan dan energi jauh lebih tinggi, serta .
menghasilkan buangan limbah yang lebih besar pula.

Pada akhirnya muncul desakan dan tuntutan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi untuk mengelola sampah dan energi secara terpadu. Prinsip pengelolaan secara terpadu ini mutlak dilakukan mengingat persoalan konsumsi, gaya hidup, sampah, dan keterbatasan kawasan kota menjadi bagian masalah yang saling berkaitan (sistemik). 
Aspek-aspek ini saling memberi dampak satu dengan lainnya, apalagi jika populasi penduduk yang tinggi tidak diimbangi upaya membangun kualitas pengetahuan dan kesadaran yang memadai di masyarakat, tentu akan menjadi beban persoalan yang makin rumit.

Sampah menjadi masalah penting (strategis) dan mendesak (urgent) untuk segera direspon secara terpadu di perkotaan, apalagi kota tidak mungkin terus-menerus bertumpu pada ruang dan luasan lahan tersentralisasi untuk mengelola beragam jenis sampah yang tidak lagi bisa diurai secara alami serta cepat. Butuh solusi yang saling berkait (sistemik), terpadu dan selaras atau saling mendukung.
 
Salah satu model solutif mengelola sampah organik menjadi kompos dan energi terbarukan adalah dengan mengurainya didalam reaktor biogas (biodigester). Teknologi ini bukan sebuah barang baru. Model ini telah dikenal luas, bahkan banyak pengembangan model reaktor dengan prinsip yang tetap sama.

Namun demikian hingga hari ini gaung pemanfaatan teknologi tepat yang solutif dan ramah lingkungan ini masih sangat minim jika dibanding dengan besarnya potensi yang tersedia untuk dikelola. Bahkan sangat disayangkan ketika perkotaan menyumbangkan persoalan sampah organik yang jauh labih berarti dari desa namun justru kota masih sangat minim memanfaatkan teknologi tepat ini. Bahkan kota Bandungpun hingga hari ini hanya memiliki contoh pemanfaatan biogas belum mencapai seratus unit saja di masyarakat. Jumlah yang sangat sedikit jika dibanding potensi dan produksi sampah organik yang dihasilkan kota ini.

Akumulasi informasi, akses, teknologi serta kreatifitas boleh jadi didominasi kota Bandung, namun ternyata pemanfaatan teknologi tepat yang mampu memberikan kontribusi positif mereduksi sampah kota nampak belum menjamur.

[ Proses pembangunan ruang/lubang utama reaktor pengolah sampah
organik 80-100 KK di areal rumah tinggal Pak Rohadjie Tri, 11/04/2014 ]

Tujuan penting dari model biogas ini adalah mereduksi sampah organik dengan mengubahnya menjadi material 'penghidup' atau kompos (padat dan cair), melalui proses pembusukan/penguraian alami di dalam ruang tertutup. Selain itu model penguraian yang dominan tertutup (an-aerob) dalam biogas ini umumnya dimanfaatkan untuk menangkap gas metana (CH4) untuk kemudian dijadikan sumber energi baru. Pemanfaatannya secara sederhana umumnya dengan menjadikan gasnya sebagai bahan bakar (memasak).

Meskipun dengan membakarnya secara sederhana namun proses ini mampu mengubah metana (CH4) menjadi karbondioksida (CO2) secara berarti. Metana (CH4) memberikan efek rumah kaca sekitar 20 hingga 21 kali lipat lebih kuat daripada karbondioksida (CO2).

Saat membakar CH4 (menjadi api kompor) kita mereaksikan CH4 menjadi CO2. Pembakaran satu molekul metana dengan oksigen akan nelepaskan satu molekul karbondioksida (CO2) dan dua molekul air (H2O). Sehingga melalui teknologi ini perkiraannya mampu mengurangi efek rumah kaca melalui dua manfaat, yaitu selain dengan manangkap metana (CH4), juga mereaksikan metana (CH4) menjadi karbondioksida (CO2).

Kembali pada bahasan solusi biodigester atau alat pembusuk/pengurai material organik melalui bakteri, secara praktis di masyarakat perlu gaung kampanye dan upaya yang lebih giat untuk memberi bukti yang dapat ditiru masyarakat. Ini juga barangkali yang menjadi alasan Pak Rohadjie Tri, awal minggu lalu membangun reaktor biogas di areal sekitar rumahnya. Memberi contoh langsung sebagai bukti terdekat bagi masyarakat.

Memang sangat rasional, seharusnya model ini secara terintegrasi mampu menjadi salah satu bagian dari sistem terpadu pengelolaan sampah pemukiman perkotaan. Bahkan dengan mudahnya akses, informasi, dan teknologi yang digunakannya, model biodigester sampah organik pemukiman ini harusnya semakin besar gaungnya di masyarakat, harus semakin mudah diakses teknologinya, dan harus bisa dibangun dengan biaya yang cukup murah dalam skala komunal.

Hingga pada saatnya kelak, ketika masyarakat telah konsisten mengelola sampahnya mulai dari rumah, mengompos dengan model komposter rumah tangga, kemudian dipadukan dengan model-model pengelolaan sampah organik tingkat warga komunal, secara berarti mampu mengurangi jumlah sampah yang keluar dari rumah dan komunal. Bahkan yang terjadi kelak adalah komunitas warga menghasilkan 'penghidup' baru bagi kotanya berupa kompos dan energi terbarukan (Ded).


* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar