[Dok. LPTT Bandung] |
Bangunan megah yang kokoh haruslah memiliki pondasi yang kokoh pula, prinsip inilah yang menjadi pegangan LPTT Bandung ketika menggagas dan menjalankan program bank sampah di Bandung. Membangun infrastruktur bank sampah, inilah pondasi dimaksud yang telah ditanamkan dengan serius selama 2013 oleh tim LPTT Bandung.
Selama rentang Maret hingga medio Desember 2013 tercatat telah lebih dari 20 kali penyelenggaraan kegiatan sosialisasi dan pelatihan tentang Bank Sampah oleh LPTT bagi masyarakat di berbagai wilayah di kota Bandung, sebagai upaya mengokohkan pondasi infrastruktur.
Bahkan sebagai bukti kesungguhan membangun pondasi gerakan bank sampah di bandung, LPTT Bandung pada 25 Nopember 2013 menyelenggarakan semiloka tentang bank sampah melalui tema Strategi dan Implementasi Bank Sampah di Bandung.
Tujuan terpenting dari gerakan bank sampah ini bukan demi menambah pengahasilan (uang) semata dari mengumpulkan dan menjual sampah, namun yang terpenting terbangun kesadaran di tingkat masyarakat tentang besarnya dampak berantai dari persoalan sampah yang ada, sehingga menjadi penting upaya-upaya pengelolaan sedari dini terutama di tingkat individu dan rumah tangga guna menanggulangi sampah yang ada.
Bank sampah mensyaratkan kegiatan pengelolaan di sumber, bahkan logikanya kegiatan bangk sampah ini berjalan setelah terbangunnya pola kesadaran untuk memilah dan memisah sampah sesuai jenisnya agar bisa dikelola dan dimanfaatkan.
Bahkan faktanya kegiatan ini bukan sekedar bernilai tambah ekonomi dan berdampak positif bagi lingkungan, namun juga menjadi satu saluran upaya pengorganisasian di tingkat komunitas warga melalui gerakan memilah dan menabung sampah.
Dalam model pengelolaan sampah yang mengacu pada prinsip 3R, idealnya upaya mengatasi persoalan sampah dilakukan mulai dengan pencegahan, melalui upaya mereduksi sampah (Reduce). Ciri khas keberhasilan gerakan Reduce adalah terbangunnya tingkat kesadaran masyarakat konsumen secara kritis dan cerdas dalam memilih produk yang akan dikonsumsinya. Gerakan populer adalah menjadi konsumen hijau yang cerdas memilih dan tak segan menolak produk yang menghasilkan sampah. Sayangnya gerakan ini masih sangat-sangat kecil dan belum banyak digaungkan secara struktural di negeri ini.
Bahkan faktanya pasar masih terus dibanjiri produk-produk kemasan tanpa kendali dari negara. Lebih disayangkan lagi pilihan-pilihan alternatif yang bisa membuat masyarakat lepas dari jerat pasar instan masih sangat minim (atau bahkan nihil) di pasar konvensional saat ini. Sehingga muncul anggapan bahwa untuk hidup ramah lingkungan dan tidak menghasilkan sampah itu lebih mahal biayanya.
Ketika masih banyak kesalahkaprahan tentang persoalan sampah, diantara minimnya pilihan-pilihan alternatif yang ramah lingkungan serta pasar yang terus dibombardir produk sampah tanpa kendali, maka upaya solutif melalui kegiatan bank sampah akan tentap menjadi sesuatu yang realistis dan rasional dijalankan sebagai bagian dari solusi persoalan sampah di masyarakat hingga saat ini.
Berangkat dari fakta inilah menjadi sangat realistis jika LPTT Bandung pada tahun 2014 ini masih tetap menjadikan kegiatan bank sampah sebagai salah satu pilihan solutif bagi masyarakat dalam upaya masyarakat membantu kotanya mengelola dan mengatasi persoalan sampah. Tentu saja bukan sekedar tentang bank sampah dan nilai rupiah, namun terpenting adalah proses menanamkan kesadaran tentang pentingnya mengelola sampah di masyarakat, salah satu kunci utama adalah pemisahan dan pemilahan sampah sesuai jenisnya mulai dari sumber. (Ded)
* * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar